Ketika
orang memintaku untuk menuliskan duniaku sebelum menjadi seorang “maha” siswa,
inilah yang ingin aku bagi dengan mereka. Masa unik yang tak akan pernah sama
dengan satu orang pun, dan itulah yang membuat aku bangga menjadi diriku dengan
masa-masa yang telah aku lalui.
Salah
satu penghias dunia yang hidup dibelakangku adalah sebuah tali. Mengapa aku
sebut dunia yang hidup dibelakangku? Karena aku pikir masalalu tidak pernah mati. Kita hidup di
masa kini karena masalalu. Lalu apa tali yang menghiasi dunia itu? Tak ada lagi
tali selain sebuah tali persahabatan. Kenapa bukan benang? Benang itu merupakan
tali, bukan? Yasudah mari kita lupakan urusan tali dan benang.
Dulu,
aku sering memikirkan apa sebenarnya sahabat? Kapan aku temui sahabat? Apa
bedanya sahabat dengan teman? Akankah aku mempunyai sahabat? Ketika aku masih
SD, sahabat bagiku adalah teman bermain, ketika aku MTs/SMP sahabat bagiku
adalah teman sebangku, teman curhat, teman ke kantin dan teman bermain, ketika
aku Mu’allimin/SMA sahabat bagiku adalah “AIR”. Jadi sebenarnya sahabat itu
apa? Kenapa bisa beda-beda pengertian seperti itu? Atau mungkin sahabat itu
seperti beberapa istilah dalam matematika, ‘undefine’/tidak
terdefinisikan. Bisa jadi sahabat itu tidak terdefinisikan dengan kata-kata,
tapi tetap saja hati mampu mendefinisikannya.
Dalam
psikologi perkembangan, usia 15-17 tahun merupakan masa adolense atau
masa remaja. Masa ini disebut dengan masa transisi alias peralihan dari masa
kanak-kanak menuju dewasa. Ujian, cobaan, guncangan dalam masa ini sangat berat
berhubungan dengan pencarian jati diri seseorang ditengah rasa penasaran dan
keingintahuan yang luar biasa. Ketika lemah iman, lemah prinsip, lemah komitmen
maka akan menyebabkan seseorang terbelit dengan ‘tali hitam’. Tali hitam ini akan mengikat seseorang untuk
tetap mengarungi air keruh sampai muara. Muara dari air keruh tak akan jernih,
kecuali ketika ditengah perjalanan ia menyadari kekeruhan air tersebut dan
membelokkan diri ketika menemuka arus air yang bersih. Disinilah perlu
kecerdasan dalam menentukan pilihan dan kepekaan posisi kita dalam sebuah perjalanan
hidup.
Dalam
masa remaja ini kebetulan aku duduk di bangku Mu’allimin Persatuan Islam No.3,
salah satu pesantren di Bandung. Aku merupakan murid pindahan dari Mu’allimin
No. 84. Jadi terkesan seperti murid baru disana, padahal ketika MTs/SMP aku
dari pesantren No.3. Namun ternyata aku menemui orang-orang baru disana,
tepatnya orang lulusan dari MTs lain. Tahun pertama aku di MLn aku masih belum
berani berbaur dengan orang-orang lulusan dari MTs lain, teman-temanku masih
seputar orang-orang yang aku kenal ketika di MTs No.3. ‘Kuper’ ya. Sampai
akhirnya aku duduk dikelas 11, kelas dipecah dan rata-rata santrinya tidak ada
yang dekat denganku ketika aku dikelas 10. Mati aku. Kebetulan jumlah
perempuannya ganjil. Tebak apa yang terjadi? Kemungkinan akan ada seorang
santriwati yang kurang beruntung alias duduk sendiri atau duduk bertiga. Siapa
dia? Tentu saja orang ‘kuper’ alias aku. Mati lagi aku. Aku pun duduk sebangku
bertiga. Entahlah, mungkin ini lebih baik daripada aku harus duduk sendiri.
Miris. Kedua teman sebangku-ku cukup baik, mereka ramah sehingga aku pun tidak
susah membaur dengan mereka. Walaupun tetap saja aku malu-malu. Tiap kali
diajak jajan bareng, ‘ngaca’ bareng, wudhu bareng aku masih
nolak. Bukan sombong atau tidak mau gabung, tapi entahlah rasa malu tidak mau
berpisah denganku. Namun karena kami bertiga sebangku, mau tidak mau seharian
belajar bertiga, dengan sendirinya kami akrab. Aku pun mulai membuka diri. Dari
ketiganya terlihat semua pendiam, ternyata tidak sependiam yang dipikirkan.
Kami asyik, kami rame, kami ceria, kami kompak. Susah senang kami bersama,
nangis tertawa kami bersama, sedih bahagia kami bersama karena kami hidup
bersama. Yang special untukku dari kebersamaan ini adalah kepedulian untuk
mengingatkan ketika memutuskan pilihan yang salah. Tak ragu untuk menegur
ketika salah, tak pelit berbagi semangat untuk melakukan hal-hal yang positif.
Inilah tali di dunia belakangku. Mereka mengikatku untuk mengarungi air bersih,
walaupun sesekali air menjadi keruh karena hujan ataupun kerikil yang jatuh
dari jalanan, bahkan kotor karena orang membuang ‘kotoran’ sesukanya. Orang
bilang hidup itu biarkan saja seperti air yang mengalir. Ya benar, tapi air
yang mana yang akan dibiarkan mengalir? Karena muara itu pun bergantung pada
aliran air yang menuju padanya.
Kedua
teman sebangku-ku adalah sahabatku, mereka adalah air-ku. Karena kami sendiri
adalah AIR, Ai, Ilmi dan Risa. Dunia AIR ini mempunyai muara yang sama yaitu
melanjutkan hidup yang indah dan tetap di ridhai Allah, walaupun tempat
bermuara kami berbeda-beda...