Senin, 31 Maret 2014

Dunia “AIR”


Ketika orang memintaku untuk menuliskan duniaku sebelum menjadi seorang “maha” siswa, inilah yang ingin aku bagi dengan mereka. Masa unik yang tak akan pernah sama dengan satu orang pun, dan itulah yang membuat aku bangga menjadi diriku dengan masa-masa yang telah aku lalui.
Salah satu penghias dunia yang hidup dibelakangku adalah sebuah tali. Mengapa aku sebut dunia yang hidup dibelakangku? Karena aku pikir  masalalu tidak pernah mati. Kita hidup di masa kini karena masalalu. Lalu apa tali yang menghiasi dunia itu? Tak ada lagi tali selain sebuah tali persahabatan. Kenapa bukan benang? Benang itu merupakan tali, bukan? Yasudah mari kita lupakan urusan tali dan benang.
Dulu, aku sering memikirkan apa sebenarnya sahabat? Kapan aku temui sahabat? Apa bedanya sahabat dengan teman? Akankah aku mempunyai sahabat? Ketika aku masih SD, sahabat bagiku adalah teman bermain, ketika aku MTs/SMP sahabat bagiku adalah teman sebangku, teman curhat, teman ke kantin dan teman bermain, ketika aku Mu’allimin/SMA sahabat bagiku adalah “AIR”. Jadi sebenarnya sahabat itu apa? Kenapa bisa beda-beda pengertian seperti itu? Atau mungkin sahabat itu seperti beberapa istilah dalam matematika, ‘undefine’/tidak terdefinisikan. Bisa jadi sahabat itu tidak terdefinisikan dengan kata-kata, tapi tetap saja hati mampu mendefinisikannya.
Dalam psikologi perkembangan, usia 15-17 tahun merupakan masa adolense atau masa remaja. Masa ini disebut dengan masa transisi alias peralihan dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Ujian, cobaan, guncangan dalam masa ini sangat berat berhubungan dengan pencarian jati diri seseorang ditengah rasa penasaran dan keingintahuan yang luar biasa. Ketika lemah iman, lemah prinsip, lemah komitmen maka akan menyebabkan seseorang terbelit dengan ‘tali hitam’.  Tali hitam ini akan mengikat seseorang untuk tetap mengarungi air keruh sampai muara. Muara dari air keruh tak akan jernih, kecuali ketika ditengah perjalanan ia menyadari kekeruhan air tersebut dan membelokkan diri ketika menemuka arus air yang bersih. Disinilah perlu kecerdasan dalam menentukan pilihan dan kepekaan posisi kita dalam sebuah perjalanan hidup.
Dalam masa remaja ini kebetulan aku duduk di bangku Mu’allimin Persatuan Islam No.3, salah satu pesantren di Bandung. Aku merupakan murid pindahan dari Mu’allimin No. 84. Jadi terkesan seperti murid baru disana, padahal ketika MTs/SMP aku dari pesantren No.3. Namun ternyata aku menemui orang-orang baru disana, tepatnya orang lulusan dari MTs lain. Tahun pertama aku di MLn aku masih belum berani berbaur dengan orang-orang lulusan dari MTs lain, teman-temanku masih seputar orang-orang yang aku kenal ketika di MTs No.3. ‘Kuper’ ya. Sampai akhirnya aku duduk dikelas 11, kelas dipecah dan rata-rata santrinya tidak ada yang dekat denganku ketika aku dikelas 10. Mati aku. Kebetulan jumlah perempuannya ganjil. Tebak apa yang terjadi? Kemungkinan akan ada seorang santriwati yang kurang beruntung alias duduk sendiri atau duduk bertiga. Siapa dia? Tentu saja orang ‘kuper’ alias aku. Mati lagi aku. Aku pun duduk sebangku bertiga. Entahlah, mungkin ini lebih baik daripada aku harus duduk sendiri. Miris. Kedua teman sebangku-ku cukup baik, mereka ramah sehingga aku pun tidak susah membaur dengan mereka. Walaupun tetap saja aku malu-malu. Tiap kali diajak jajan bareng, ngacabareng, wudhu bareng aku masih nolak. Bukan sombong atau tidak mau gabung, tapi entahlah rasa malu tidak mau berpisah denganku. Namun karena kami bertiga sebangku, mau tidak mau seharian belajar bertiga, dengan sendirinya kami akrab. Aku pun mulai membuka diri. Dari ketiganya terlihat semua pendiam, ternyata tidak sependiam yang dipikirkan. Kami asyik, kami rame, kami ceria, kami kompak. Susah senang kami bersama, nangis tertawa kami bersama, sedih bahagia kami bersama karena kami hidup bersama. Yang special untukku dari kebersamaan ini adalah kepedulian untuk mengingatkan ketika memutuskan pilihan yang salah. Tak ragu untuk menegur ketika salah, tak pelit berbagi semangat untuk melakukan hal-hal yang positif. Inilah tali di dunia belakangku. Mereka mengikatku untuk mengarungi air bersih, walaupun sesekali air menjadi keruh karena hujan ataupun kerikil yang jatuh dari jalanan, bahkan kotor karena orang membuang ‘kotoran’ sesukanya. Orang bilang hidup itu biarkan saja seperti air yang mengalir. Ya benar, tapi air yang mana yang akan dibiarkan mengalir? Karena muara itu pun bergantung pada aliran air yang menuju padanya.
Kedua teman sebangku-ku adalah sahabatku, mereka adalah air-ku. Karena kami sendiri adalah AIR, Ai, Ilmi dan Risa. Dunia AIR ini mempunyai muara yang sama yaitu melanjutkan hidup yang indah dan tetap di ridhai Allah, walaupun tempat bermuara kami berbeda-beda...
Read More




Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML