Jumat, 30 Januari 2015

Dibalik Sebuah Pesan

Ini tentang sebuah warna kebangkitan dari keterjajahan prinsip hehe *paradox sekali bahasanya. Saya ulangi, ini tentang warna-warni terbitnya kesadaran dalam raja tubuh ini, hati.

Tepat malam Rabu waktu itu, gerimis menemani kelam malam, menyirnakan gemerlap bintang, menyembunyikan cahaya rembulan. Rintik-rintik air dari langit menemani setiap langkah kaki kepulangan Indi mengajar. Kebetulan malam itu orang tua Sasa, murid Indi sedang pergi keluar kota, jadi Indi pulang sendiri tanpa diantar. Biasanya setiap pulang mengajar Sasa, Indi diantar pulang sampai ke gerbang depan komplek dekat asramanya tinggal.

“Tidak apa-apa, ini bukan kali pertama kau berjalan kaki sendiri dibawah hitamnya langit”, gumam Indi dalam hati menyingkirkan kekhawatiran yang mulai menghantuinya. Sambil berjalan, Indi membalas pesan-pesan singkat yang masuk ke dalam handphone nya selama ia mengajar. Pesan yang masuk salah satunya yaitu dari pacar Indi, “Sudah berangkat mengajar ya? Hati-hati… Pulangnya pun nanti hati-hati ya :)”, pesan itu masuk ketika Indi berangkat namun baru sempat terbaca. Satu lagi ada pesan masuk dari temannya, teman lama yang akhir-akhir ini sering menghubunginya, “Assalamu’alaikum, Indi….”

Indi pun membalas satu persatu pesan tersebut untuk menemaninya selama perjalanan. Namun hatinya tetap merasa was-was, diperhatikan sekeliling jalan tak seperti biasanya, begitu sepi. Mungkin karena gerimis. Lampu-lampu masih menerangi jalan dan toko-toko yang ia lewati, tetapi tak nampak pedagang ataupun pembeli. Matanya hanya menangkap sosok laki-laki di pinggir jalan yang seolah sedang menunggu temannya. “Ah, masih ada orang”, gumamnya dalam hati.

Sesampainya dikoridor jalan kampus menuju asramanya, Indi semakin lega karena disana masih terlihat seseorang pula yang sedang mengambil uang di ATM kampus. “Tuhkan, aku tak sendiri” ucap Indi. Tak lama setelah melewati ATM kampus rasa tidak nyaman menggerogoti hati Indi. Perasaan tidak enak mulai merenggutnya perlahan. Dan, suara langkah kaki seseorang tepat dibelakangnya begitu jelas terdengar ditelinganya. Ia pun sedikit menoleh ke belakang dan ternyata dugaannya benar. Sesosok laki-laki tepat mengikutinya di belakang dan yang lebih mengagetkannya, laki-laki itu adalah orang yang tadi ia lihat dipinggir jalan sebelumnya.

Perlahan Indi langsung memasukkan handphonenya ke dalam tas. Tas gendong yang melekat di punggungnya ia pindahkan kedepan menutupi badannya, dipeluknya erat-erat dan mulailah ia pelankan langkah. Maksud Indi memelankan langkah kaki yaitu untuk menyilahkan pemuda itu agar mendahuluinya dan berjalan didepannya. Namun, gerak gerik kaku Indi memang menggambarkan ketakutannya pada sang pemuda. Pemuda itu pun malah melakukan hal  yang diluar dugaan Indi. Ia menyekap Indi dari belakang, membungkam mulut Indi begitu keras dengan tangannya, sampai-sampai jarum pada jilbab Indi yang terurai panjang terlepas dan melukai dagunya. Indi pun hanya mampu memegang tasnya erat-erat, mendekap tubuhnya, berusaha teriak namun sia-sia dengan mulutnya yang terbungkam.

Pemuda itu melepaskan tangannya dari mulut Indi, namun ia memegang tangan Indi dengan sangat keras dan berdiri disampingnya. Menatap Indi pekat. Indi pun hanya bisa menangis, mendekap tasnya untuk menutupi mulutnya yang sakit dan menjaga jilbabnya agar tidak terbuka karena cengkraman jarumnya yang terlepas ketika di dekap. Ketika itu Indi bisa berteriak dan meminta tolong, namun karena Indi menyadari tidak ada seorang pun disana yang ia lakukan hanya menangis dan berdzikir di dalam hati. Indi pun khawatir jika ia berteriak, pemuda itu malah akan semakin macam-macam padanya. Setelah sekitar 5 menit pemuda itu berdiri dan memandanginya pekat pemuda itu pun berlari.

Indi menjatuhkan dirinya ke jalan. Menangis dan memandangi sekitar, benar-benar gelap tidak terlihat kehidupan disana, remang-remang lampu bangunan-bangunan sekolah dan kampus disekelilingnya hanya sedikit yang menerangi jalan. Satpam Sekolah Dasar tempat kejadian itu pun tak nampak. “Kemana orang-orang?” Lirihnya dalam hati. Indi pun menangis dan membenarkan kerudungnya. Masih ada syukur dihatinya, ia tidak di apa-apakan, tidak dicuri perhiasan atau handphonenya dan dirinya pun tidak dimacam-macamkan. Namun mulutnya terasa sakit, ternyata tetesan darah menghiasi sekeliling bibirnya. 

Ia pun berdiri dan mulai berjalan kembali menuju ke asrama tempat dia tinggal. Ia sekah air matanya agar terlihat baik-baik saja. Ia balut darah di bibirnya agar tidak terlihat lagi. Ia rapikan kembali jilbabnya agar terlihat baik-baik saja. Namun tetap saja, langkah gontai dan hati yang sendu  tidak bisa ia hilangkan. Masih belum ia pahami, apa maksud pemuda itu? Mengapa ia melakukan hal seperti itu?

Sesampainya di depan pintu asrama, ragu untuknya untuk membuka pintu dan masuk. “Apa aku sudah terlihat baik-baik saja? Ya Allah aku tidak ingin siapapun mengetahui hal ini. Cukup Kau dan Aku yang tahu.” Lirihnya dalam hati.

Setelah yakin ia terlihat baik-baik saja, Indi pun memasuki asrama dan segera menuju kamarnya. Di dapatinya Riani dan Tisa, dua sahabatnya itu sedang belajar bersama, kebetulan hari esok adalah detik-detik terkahir UAS di kampusnya. Indi pun hanya tersenyum setelah mengucapkan salam. Segeralah Indi menuju cermin dan memandangi dirinya, “alhamdulillah aku terlihat baik-baik saja.” Ucap Indi dalam hati.

Indi pun hanya duduk dikasurnya, diam, melamun, tak berkata sepatah pun atau melakukan hal apapun, ia hanya diam. Kedua temannya pun hanya memandanginya sambil berdiskusi mengenai materi UAS esok hari. Sedang Indi masih saja diam.

Ada trauma dalam hati Indi yang bingung harus ia seperti apakan. Ingin sekali Indi bercerita pada sahabatnya itu. Namun ia takut kejadian ini malah membuat sahabatnya merasakan takut yang sama dan tidak berani lagi keluar, disamping Indi tidak ingin mengganggu mereka belajar. Indi pun memutuskan untuk bercerita pada pacar dan teman lamanya. Setidaknya untuk mengurangi bebannya setelah dibagi dengan orang. Begitulah pikir Indi.

Setelah mengecek hp Indi pun telah mendapat balasan dari pesan Indi sebelumnya untuk kedua orang tadi, pacar dan teman lamanya. Kemudian Indi pun membalas kedua pesan  tersebut hanya dengan sebuah symbol menangis. Tak lama kemudian balasan  dari keduanya datang, tentu balasannya sama “Kenapa Indi?”. Indi pun kembali hanya memandangi hp-nya. Masih ragu dihatinya untuk bercerita. Tiba-tiba sudut matanya terasa basah kembali. Ia menyekahnya. Karena tak kunjung membalas pesannya, teman lama Indi mengirim pesan kembali, “Indi… kamu kenapa?”. Indi tak heran, dari dulu semenjak ia kenal dia orang yang sangat peduli. Tak peduli ketika Indi mengacuhkannya, ia selalu menyapa Indi. Dan dia adalah salah  satu orang yang senantiasa mengingatkan Indi “kamu jangan pacaran”, “kamu jangan sampai terkena virus”.

Setelah lama berpikir, Indi pun yakin untuk bercerita, ia mulai memasukkan deretan huruf-huruf ke dalam hp-nya menyuratkan kejadian yang dialaminya tadi dengan singkat. Setelah sudah dirasa cukup, Indi pun menyentuh tanda kirim di hp-nya.

Tak lama setelah Indi mengirimkan balasan, balasan dari keduanya datang. Seketika hati Indi pun terenyuh membaca kedua balasan yang berbeda, pesan dari pacarnya dan temannya itu sangat berbeda.

Indi pun segera ke kamar mandi dan mengambil air wudhu untuk menenangkan hatinya. Sesampainya di kamar Indi terdiam lagi. Kedua sahabatnya memandangi Indi kembali. Indi pun mulai berbicara, “hey kalian, bolehkah aku bercerita sekarang?” 

Tak sadar ia berbicara sambil menitikkan air mata. Kedua sahabatnya jelas kaget. 
“Kamu kenapa? Ada apa? Semenjak pulang diam terus. Tidak seperti biasanya,” jawab Tisa salah satu sahabatnya itu.

Indi pun mulai menceritakan kejadian buruknya pada kedua sahabatnya sambil menangis. Seperti dugaannya, sahabatnya akan sangat khawatir dan ketakutan. Mereka memeluk Indi erat.

“Aku bisa mengerti rasa takut yang kamu rasakan Indi, entah bagaimana jadinya jika itu menimpa pada kami. Syukurlah Allah masih melindungimu, kau tidak terluka ataupun kehilangan sesuatu,” lirih Riani.

“Aku bingung sekarang harus bagaimana, rasanya sangat trauma. Tidak ingin keluar dan melewati jalan itu kembali. Aku takut orang itu mengikutiku kembali setiap pulang ngajar,” ucap Indi.

“Sudah jangan menangis, kamu minta pindah jadwal mengajar saja kepada orangtuanya, kamu ceritakan kejadian hari ini, insyaa Allah mereka akan mengerti. Tak ada seorang muslim yang akan membiarkan saudaranya dalam bahaya, Indi.” jawab Riani menenangkan Indi.

“Aku setuju dengan Riani. Kamu jangan pulang malam-malam lagi. Pacarmu tahu kejadian ini tidak? Sekarang tenangkan diri dulu, terus belajar untuk besok,” ujar Tisa menanggapi Riani.

Kali ini Indi benar-benar merasa lebih lega. Ia merasa benar-benar beruntung memiliki sahabat seperti Tisa dan Riani, mereka selalu berempati, saling mengingatkan dan saling memberi motivasi. Namun disamping rasa takut yang masih menghantui Indi, perasaan aneh lain yang hinggap dihatinya setelah membaca dua pesan yang berbeda dari pacar dan teman lamanya pun ikut membuntutinya sekarang. “Huhft, wahai hati tenanglah dahulu, biarkan otakku mencerna isi dari tinta hitam diatas lembaran kertas-kertas putih itu. Bismillah… Allahummanfa’nii, bimaa ‘allamtanii wa ‘allimnii maa yan fauni, wa zidnii ‘ilmaan”.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Keesokan harinya setelah selesai UAS, anak-anak asrama pun berkumpul untuk berbagi cerita dan berbagi ceria. Namun kemurungan masih nampak diraut wajah Indi. Indi pun memisahkan diri dan memasuki kamarnya. Lalu salah seorang anak asrama yang dipandang paling dewasa disana mengikuti Indi ke kamar.

“Indiiiiii, masih sama Khafi? Gimana? Uda yakin buat menjadikan dia yang terakhir? Hihi…” goda Kak Sabila kepada Indi, menanyakan keadaan hubungan Indi dengan pacarnya, Khafi. 

Memang kakak Indi yang satu ini sangat peka terhadap hubungan Indi dan Khafi. Jika melihat Indi murung, Kak Sabila selalu berpikir pasti ini ada hubungannya dengan Khafi. Tak jarang Kak Sabila memberikan nasihat kepada Indi untuk tidak bermain-main dalam menjalani ikatan, jangan sampai pacaran itu membawa pengaruh pada hal yang tidak benar, intinya Kak Sabila slealu menyarankan Indi agar mengakhiri hubungannya dengan Khafi, ‘nanti dulu saja’, ‘langsung menikah’. Begitu yang ditangkap Indi atas nasihat Kak Sabila selama ini.

“Ah… teteh, selalu seperti itu” jawab Indi.
Kak Sabil pun tersenyum, “Ini pertanyaanku yang kedua kalinya ya mengenai keyakinanmu pada Khafi. Masih ingat teteh bertanya seperti itu satu tahun yang lalu? Nah teteh sekarang ingin mendengar jawabannya kembali.”

“Hm, iya teh aku ingat. Teteh menasihatiku dan menanyakan hal itu ketika kami mempunyai masalah yang tidak kecil. Ya aku akan menjadikan dia yang terakhir selama dia berubah, aku masih memberi kesempatan dia untuk berubah.” Jawab Indi lirih.

“Jawabanmu masih sama seperti dulu, itu menandakan bahwa kau belum yakin padanya. Kalimat ‘selama dia akan berubah’, dari jarak setahun teteh bertanya kamu masih menjawab demikian? Coba pikirkan lagi. Bukan apa-apa, teteh tidak ingin kamu membuang waktu, kalian itu bertahan dengan hubungan kalian atau dipaksa bertahan oleh ego kalian? Hayati lagi.” Tukas Kak Sabil.
Indi diam sejenak. “Aku bingung menjawab pernyataan teteh barusan” jawabku.

“Kenapa bingung Indi? Ayolah Indi, tidak baik sebuah hubungan dipaksakan. Bagaimana jika sebenarnya kamu itu terpaksa bertahan? Bagaimana jika hubungan kalian itu menjadi penghalang kesuksesan kalian? Bagaimana jika hubungan kalian itu menjadi penghalang jodoh yang sebenarnya?”

Aku pun tertegun dengan kalimat yang terakhir. Aku memandangi Kak Sabil. Dia seolah meyakinkanku akan ketidak yakinanku pada Khafi. Sesaat aku langsung teringat pada kedua isi pesan yang berbeda kemarin dari Khafi dan teman lamaku, Fahmi. Akhirnya aku pun tidak menanggapi terlebih dahulu pernyataan Kak Sabil. Aku menceritakan kejadian kemarin kepada kak Sabil, seketika kak Sabil memelukku sambil meneteskan airmatanya. Terasa tenang hatiku mendapat pelukan darinya, terasa sangat kasih sayang kak Sabil terhadapku, aku pun menangis.

Setelah itu aku pun memberitahu Kak Sabil bahwa aku meceritakan kejadian itu pada Khafi juga dan seorang temanku.

“Lantas bagaimana tanggapan mereka?” kata Kak Sabil.

Aku hanya tersenyum ditengah tangisanku dan memperlihatkan isi pesan dari mereka kepadanya.
Mata Kak Sabil pun berbinar ketika membaca salah satu pesan yang ada di hp ku. Mungkin perasaan Kak Sabil sama denganku ketika membacanya. Hanya saja perasaan bingung pasti tak hinggap pada Kak Sabil.

“Setelah mendapat kedua balasan pesan yang berbeda seperti itu dan nasihat dari teteh tadi, aku berpikir kembali mengenai sosok yang sebenarnya ingin kusandingkan denganku kelak. Biarlah tanpa ikatan apapun dahulu sebelum memang waktu yang halal. Sosok yang membuat aku lebih dekat dengan-Nya, sosok yang membuatku senantiasa ingat kepada-Nya”, ucapku pelan.

“Kamu mulai menyadari? Sekarang apa yang akan kau lakukan? Dan ingat, sosok seperti itu takan kau dapatkan memalui pacaran, Indi. Jika kamu dan Khafi memang jodoh tanpa harus pacaran kalian akan bertemu nanti, setelah masing-masing dari kalian sukses dan siap menikah. Jika bukan Khafi sekalipun, kau akan mendapatkan yang lebih baik. Kamu bisa memikirkan kembali sosok yang kamu inginkan dan memantaskan diri untuk yang kau kehendaki tersebut. Buktinya setelah mendapat sms dari kedua orang yang berbeda isinya itu. Kau dapat memikirkannya dengan baik bukan?” jawab Kak Sabil dengan tegas.

“Aku kembali tersenyum, hatiku merasa jauh lebih lega kembali, pikiranku lebih segar, keyakinanku  semakin matang. Aku lebih tahu kemana harus melangkah, aku lebih tahu bagaimana harus ku jajaki kehidupanku, aku lebih tahu apa yang harus aku lepas dan ku kejar. Aku sangat tahu kemana aku harus pulang. Tidak ada kata terlambat untuk kembali, mungkin Dia telah menungguku sangat lama. Aku tak ingin membuat-Nya menunggu lebih lama lagi, Dia kekasihku yang sebenarnya,  yang takkan menyakitiku, takkan meninggalkanku, senantiasa menjagaku, senantiasa melindungiku, senantiasa memberikanku nikmat yang luar biasa. Takkan ku lupakan lagi Dia, takan ku tinggalkan lagi Dia walaupun hanya sejengkal.” Pikir Indi dengan yakin.

Indi pun mengakhiri ikatannya dengan yang selama ini Indi sebut kekasih. “Tidak ada  yang salah denganmu, Khafi, adalah kesalahan ada pada diriku jika aku terus bersamamu. Karena aku menyadari kekeliruan ini, maka aku harus mengakhiri kekeliruan itu. Semoga kau pun mengerti tentang kekeliruan kita. Bukan ku putuskan silaturahmi denganmu, kita perkuat silaturahmi kita melalui-Nya” harap Indi dalam hati.

Fahmi, teman lama Indi pun mengetahui keberakhiran hubungan Indi dengan ‘kekasih’nya. Indi melihat Fahmi tampak senang dengan kabar itu, jika dicermati pesan-pesan darinya. Fahmi semakin sering menasihati Indi, Indi memang tersadar dengan nasihat-nasihatnya. Hal-hal sederhana untuk mendekatkan Indi dengan-Nya sering ia ingatkan.

“Selama ini aku nyaris melupakan hal-hal yang Fahmi nasihatkan padaku. Sangat bersyukur memiliki teman seperti Fahmi. Andai dia tahu, bahwa keberakhiranku dengan Khafi ada keterlibatannya dengan dia, bagaimana jadinya? *hhe kadang hal ini cukup menggelitik hati. Pesan dari Fahmi waktu kejadian itu benar-benar membuatku takjud, hal sederhana namun sedikit orang yang mengingatnya” ucap Indi pada dirinya sendiri.

Setelah ikatan ‘pacaran’ itu tenggelam, setelah menahun ikatan itu terjalin, dengan keputusan berakhir yang terlontar dari Indi karena-Nya, Khafi benar-benar menghilang. Tak sedikitpun sapaan datang darinya.

“Ah, aku benar-benar kaget dengan hal ini, namun tak membuatku menyesal, insyaa Allah keputusanku tepat. Dan Fahmi semakin membuatku kagum dengan perangainya. Ah, aku takut terjatuh dengan orang baik sepertinya, aku sangat menyayangkan jika ia terjatuh pada perasaan yang sama. Aku pun memutuskan untuk mengurangi intensitasku berkomunikasi dengannya” gumam Indi pada dirinya sendiri.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Beberapa waktu berlalu, Fahmi pun tampak memberikan pesan mengenai perasaannya. Disisi lain Indi senang, namun Indi tidak ingin Fahmi terjebak dalam perasaannya. Indi tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika Fahmi terjatuh karenanya, Fahmi yang telah membuatnya bangkit jangan sampai terjatuh dan membuatnya jatuh kembali. Namun hati kecil Indi seolah sangat menyambut hangat Fahmi.

Tapi tampaknya Fahmi bukanlah orang yang mudah terjatuh, ia memegang prinsipnya dengan baik. Mana mungkin juga dia memakan perkataannya sendiri. Memang dia tidak meminta Indi ‘pacaran’,  hanya kalimat yang terucap darinya membuatnya mampu menafsirkan perasaan dan maksud Fahmi. Namun kekhawatiran Indi tetap ada, Indi khawatir bisikan-bisikan musuh nyata umat mengusiknya sekuat apapun benteng yang ia dan Fahmi bangun.

Hubungan mereka memang masih wajar seperti biasa, namun Indi takut ketika memang keduanya sudah mengetahui ada harapan pada diri masing-masing, hal itu akan menyeret pada lembah yang tak diridhai-Nya.

Fahmi mengerti kekhawatiran Indi, kini dia pun mengurangi intensitas komunikasinya dengan Indi, sangat jarang keduanya bertegur sapa. Namun Indi tidak khawatir dengan keadaan ini, Indi tidak ingin merusak sosok Fahmi yang ia kagumi. Harapan Indi, “aku dan dia sama-sama mengadu tentang harapan kita pada-Nya samapi ditautkan untuk bersama kelak. Senantiasa berdoa dan memantaskan diri masing-masing sampai Dia meridhoinya”.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
 “Am turiidu litaj’al nuurii?” begitulah pesan yang pernah ia kirimkan pada Indi. Sederhananya Fahmi menuturkan, “apakah kau berkenan jadi pasanganku?”. Pikir Indi, “Ah aku takut salah menafsirkan, tapi aku sangat tak berani bertanya mengenai perasaannya padaku, ditengah perhatian yang dia berikan. Aku memilih lebih baik tak tahu dan menjaga hatiku.”
Fahmi dan Indi pun menjalani kehidupannya seperti biasa, sendiri-sendiri, hanya keyakinan dan ghirah taat pada-Nya yang menguatkan keduanya. Saling memantaskan diri dilakukan masing-masing, keduanya hanya menautkan harapan pada-Nya. Jika memang berjodoh maka kebahagiaan akan dikecupnya, jika tak jodoh kebahagiaan pun tetap dinikmatinya, berarti ada orang yang lebih tepat untuk keduanya. Wallahu a’lam. Tautkanlah segala harapan hanya pada-Nya, tempuhlah dengan keridhaan-Nya.
--------------------------------------------------------
Inilah pesan yang membuat Indi memilih menjaga perasaannya dan memantaskan diri untuk jodoh terbaiknya. Setelah kejadian buruk yang menimpanya saat itu, beginilah tanggapan dari Khafi dan Fahmi:

Khafi: “Hah? Gila :( kok bisa narik tangan kamu Indi? Yauda kamu minta ganti jadwal sama orangtuanya, besok biar Khafi jemput ya pulangnya :(”
Fahmi: “Astaghfirullah, tapi kamu tidak di apa-apakan lagi kan? Pokoknya mulai sekarang kamu jangan pulang malam. Tidak baik perempuan keluar malam. Sekarang ambil air wudhu, lekas shalat, tenangkan hatimu. Minta selalu perlindungan dari-Nya. Sudah jangan takut lagi ya, banyak dzikir dan ingat pada-Nya.”
Mana yang akan lebih menenangkan hati kalian ukhty?



Subscribe to Our Blog Updates!




Share this article!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Return to top of page
Powered By Blogger | Design by Genesis Awesome | Blogger Template by Lord HTML