Ini tentang sebuah warna kebangkitan
dari keterjajahan prinsip hehe *paradox sekali bahasanya. Saya ulangi, ini
tentang warna-warni terbitnya kesadaran dalam raja tubuh ini, hati.
Tepat malam Rabu waktu itu,
gerimis menemani kelam malam, menyirnakan gemerlap bintang, menyembunyikan
cahaya rembulan. Rintik-rintik air dari langit menemani setiap langkah kaki
kepulangan Indi mengajar. Kebetulan malam itu orang tua Sasa, murid Indi sedang
pergi keluar kota, jadi Indi pulang sendiri tanpa diantar. Biasanya setiap
pulang mengajar Sasa, Indi diantar pulang sampai ke gerbang depan komplek dekat
asramanya tinggal.
“Tidak apa-apa, ini bukan kali
pertama kau berjalan kaki sendiri dibawah hitamnya langit”, gumam Indi dalam
hati menyingkirkan kekhawatiran yang mulai menghantuinya. Sambil berjalan, Indi
membalas pesan-pesan singkat yang masuk ke dalam handphone nya selama ia
mengajar. Pesan yang masuk salah satunya yaitu dari pacar Indi, “Sudah berangkat
mengajar ya? Hati-hati… Pulangnya pun nanti hati-hati ya :)”, pesan itu masuk
ketika Indi berangkat namun baru sempat terbaca. Satu lagi ada pesan masuk dari
temannya, teman lama yang akhir-akhir ini sering menghubunginya, “Assalamu’alaikum,
Indi….”
Indi pun membalas satu persatu
pesan tersebut untuk menemaninya selama perjalanan. Namun hatinya tetap merasa
was-was, diperhatikan sekeliling jalan tak seperti biasanya, begitu sepi. Mungkin
karena gerimis. Lampu-lampu masih menerangi jalan
dan toko-toko yang ia lewati, tetapi tak nampak pedagang ataupun pembeli. Matanya
hanya menangkap sosok laki-laki di pinggir jalan yang seolah sedang menunggu
temannya. “Ah, masih ada orang”, gumamnya dalam hati.
Sesampainya dikoridor jalan
kampus menuju asramanya, Indi semakin lega karena disana masih terlihat
seseorang pula yang sedang mengambil uang di ATM kampus. “Tuhkan, aku tak
sendiri” ucap Indi. Tak lama setelah melewati ATM kampus rasa tidak nyaman menggerogoti
hati Indi. Perasaan tidak enak mulai merenggutnya perlahan. Dan, suara langkah
kaki seseorang tepat dibelakangnya begitu jelas terdengar ditelinganya. Ia pun
sedikit menoleh ke belakang dan ternyata dugaannya benar. Sesosok laki-laki
tepat mengikutinya di belakang dan yang lebih mengagetkannya, laki-laki itu
adalah orang yang tadi ia lihat dipinggir jalan sebelumnya.
Perlahan Indi langsung memasukkan
handphonenya ke dalam tas. Tas gendong yang melekat di punggungnya ia pindahkan
kedepan menutupi badannya, dipeluknya erat-erat dan mulailah ia pelankan
langkah. Maksud Indi memelankan langkah kaki yaitu untuk menyilahkan pemuda itu
agar mendahuluinya dan berjalan didepannya. Namun, gerak gerik kaku Indi memang
menggambarkan ketakutannya pada sang pemuda. Pemuda itu pun malah melakukan
hal yang diluar dugaan Indi. Ia menyekap
Indi dari belakang, membungkam mulut Indi begitu keras dengan tangannya, sampai-sampai
jarum pada jilbab Indi yang terurai panjang terlepas dan melukai dagunya. Indi
pun hanya mampu memegang tasnya erat-erat, mendekap tubuhnya, berusaha teriak
namun sia-sia dengan mulutnya yang terbungkam.
Pemuda itu melepaskan tangannya
dari mulut Indi, namun ia memegang tangan Indi dengan sangat keras dan berdiri
disampingnya. Menatap Indi pekat. Indi pun hanya bisa menangis, mendekap tasnya
untuk menutupi mulutnya yang sakit dan menjaga jilbabnya agar tidak terbuka
karena cengkraman jarumnya yang terlepas ketika di dekap. Ketika itu Indi bisa
berteriak dan meminta tolong, namun karena Indi menyadari tidak ada seorang pun
disana yang ia lakukan hanya menangis dan berdzikir di dalam hati. Indi pun
khawatir jika ia berteriak, pemuda itu malah akan semakin macam-macam padanya.
Setelah sekitar 5 menit pemuda itu berdiri dan memandanginya pekat pemuda itu
pun berlari.
Indi menjatuhkan dirinya ke
jalan. Menangis dan memandangi sekitar, benar-benar gelap tidak terlihat
kehidupan disana, remang-remang lampu bangunan-bangunan sekolah dan kampus
disekelilingnya hanya sedikit yang menerangi jalan. Satpam Sekolah Dasar tempat
kejadian itu pun tak nampak. “Kemana orang-orang?” Lirihnya dalam hati. Indi
pun menangis dan membenarkan kerudungnya. Masih ada syukur dihatinya, ia tidak
di apa-apakan, tidak dicuri perhiasan atau handphonenya dan dirinya pun tidak
dimacam-macamkan. Namun mulutnya terasa sakit, ternyata tetesan darah menghiasi
sekeliling bibirnya.
Ia pun berdiri dan mulai berjalan kembali menuju ke asrama
tempat dia tinggal. Ia sekah air matanya agar terlihat baik-baik saja. Ia balut
darah di bibirnya agar tidak terlihat lagi. Ia rapikan kembali jilbabnya agar
terlihat baik-baik saja. Namun tetap saja, langkah gontai dan hati yang
sendu tidak bisa ia hilangkan. Masih belum
ia pahami, apa maksud pemuda itu? Mengapa ia melakukan hal seperti itu?
Sesampainya di depan pintu
asrama, ragu untuknya untuk membuka pintu dan masuk. “Apa aku sudah terlihat
baik-baik saja? Ya Allah aku tidak ingin siapapun mengetahui hal ini. Cukup Kau
dan Aku yang tahu.” Lirihnya dalam hati.
Setelah yakin ia terlihat
baik-baik saja, Indi pun memasuki asrama dan segera menuju kamarnya. Di
dapatinya Riani dan Tisa, dua sahabatnya itu sedang belajar bersama, kebetulan hari
esok adalah detik-detik terkahir UAS di kampusnya. Indi pun hanya tersenyum
setelah mengucapkan salam. Segeralah Indi menuju cermin dan memandangi dirinya,
“alhamdulillah aku terlihat baik-baik saja.” Ucap Indi dalam hati.
Indi pun hanya duduk dikasurnya,
diam, melamun, tak berkata sepatah pun atau melakukan hal apapun, ia hanya
diam. Kedua temannya pun hanya memandanginya sambil berdiskusi mengenai materi
UAS esok hari. Sedang Indi masih saja diam.
Ada trauma dalam hati Indi yang
bingung harus ia seperti apakan. Ingin sekali Indi bercerita pada sahabatnya
itu. Namun ia takut kejadian ini malah membuat sahabatnya merasakan takut yang
sama dan tidak berani lagi keluar, disamping Indi tidak ingin mengganggu mereka
belajar. Indi pun memutuskan untuk bercerita pada pacar dan teman lamanya. Setidaknya
untuk mengurangi bebannya setelah dibagi dengan orang. Begitulah pikir Indi.
Setelah mengecek hp Indi pun telah
mendapat balasan dari pesan Indi sebelumnya untuk kedua orang tadi, pacar dan
teman lamanya. Kemudian Indi pun membalas kedua pesan tersebut hanya dengan sebuah symbol menangis.
Tak lama kemudian balasan dari keduanya
datang, tentu balasannya sama “Kenapa Indi?”. Indi pun kembali hanya memandangi
hp-nya. Masih ragu dihatinya untuk bercerita. Tiba-tiba sudut matanya terasa
basah kembali. Ia menyekahnya. Karena tak kunjung membalas pesannya, teman lama
Indi mengirim pesan kembali, “Indi… kamu kenapa?”. Indi tak heran, dari dulu
semenjak ia kenal dia orang yang sangat peduli. Tak peduli ketika Indi
mengacuhkannya, ia selalu menyapa Indi. Dan dia adalah salah satu orang yang senantiasa mengingatkan Indi “kamu
jangan pacaran”, “kamu jangan sampai terkena virus”.
Setelah lama berpikir, Indi pun
yakin untuk bercerita, ia mulai memasukkan deretan huruf-huruf ke dalam hp-nya
menyuratkan kejadian yang dialaminya tadi dengan singkat. Setelah sudah dirasa
cukup, Indi pun menyentuh tanda kirim di hp-nya.
Tak lama setelah Indi mengirimkan
balasan, balasan dari keduanya datang. Seketika hati Indi pun terenyuh membaca
kedua balasan yang berbeda, pesan dari pacarnya dan temannya itu sangat
berbeda.
Indi pun segera ke kamar mandi
dan mengambil air wudhu untuk menenangkan hatinya. Sesampainya di kamar Indi
terdiam lagi. Kedua sahabatnya memandangi Indi kembali. Indi pun mulai
berbicara, “hey kalian, bolehkah aku bercerita sekarang?”
Tak sadar ia berbicara
sambil menitikkan air mata. Kedua sahabatnya jelas kaget.
“Kamu kenapa? Ada
apa? Semenjak pulang diam terus. Tidak seperti biasanya,” jawab Tisa salah satu
sahabatnya itu.
Indi pun mulai menceritakan
kejadian buruknya pada kedua sahabatnya sambil menangis. Seperti dugaannya,
sahabatnya akan sangat khawatir dan ketakutan. Mereka memeluk Indi erat.
“Aku bisa mengerti rasa takut
yang kamu rasakan Indi, entah bagaimana jadinya jika itu menimpa pada kami.
Syukurlah Allah masih melindungimu, kau tidak terluka ataupun kehilangan
sesuatu,” lirih Riani.
“Aku bingung sekarang harus
bagaimana, rasanya sangat trauma. Tidak ingin keluar dan melewati jalan itu
kembali. Aku takut orang itu mengikutiku kembali setiap pulang ngajar,” ucap
Indi.
“Sudah jangan menangis, kamu
minta pindah jadwal mengajar saja kepada orangtuanya, kamu ceritakan kejadian
hari ini, insyaa Allah mereka akan mengerti. Tak ada seorang muslim yang akan
membiarkan saudaranya dalam bahaya, Indi.” jawab Riani menenangkan Indi.
“Aku setuju dengan Riani. Kamu jangan
pulang malam-malam lagi. Pacarmu tahu kejadian ini tidak? Sekarang tenangkan
diri dulu, terus belajar untuk besok,” ujar Tisa menanggapi Riani.
Kali ini Indi benar-benar merasa
lebih lega. Ia merasa benar-benar beruntung memiliki sahabat seperti Tisa dan
Riani, mereka selalu berempati, saling mengingatkan dan saling memberi motivasi.
Namun disamping rasa takut yang masih menghantui Indi, perasaan aneh lain yang
hinggap dihatinya setelah membaca dua pesan yang berbeda dari pacar dan teman
lamanya pun ikut membuntutinya sekarang. “Huhft, wahai hati tenanglah dahulu, biarkan
otakku mencerna isi dari tinta hitam diatas lembaran kertas-kertas putih itu.
Bismillah… Allahummanfa’nii, bimaa ‘allamtanii wa ‘allimnii maa yan fauni, wa
zidnii ‘ilmaan”.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Keesokan harinya setelah selesai
UAS, anak-anak asrama pun berkumpul untuk berbagi cerita dan berbagi ceria. Namun
kemurungan masih nampak diraut wajah Indi. Indi pun memisahkan diri dan
memasuki kamarnya. Lalu salah seorang anak asrama yang dipandang paling dewasa
disana mengikuti Indi ke kamar.
“Indiiiiii, masih sama Khafi?
Gimana? Uda yakin buat menjadikan dia yang terakhir? Hihi…” goda Kak Sabila
kepada Indi, menanyakan keadaan hubungan Indi dengan pacarnya, Khafi.
Memang
kakak Indi yang satu ini sangat peka terhadap hubungan Indi dan Khafi. Jika melihat
Indi murung, Kak Sabila selalu berpikir pasti ini ada hubungannya dengan Khafi.
Tak jarang Kak Sabila memberikan nasihat kepada Indi untuk tidak bermain-main
dalam menjalani ikatan, jangan sampai pacaran itu membawa pengaruh pada hal yang
tidak benar, intinya Kak Sabila slealu menyarankan Indi agar mengakhiri
hubungannya dengan Khafi, ‘nanti dulu saja’, ‘langsung menikah’. Begitu yang
ditangkap Indi atas nasihat Kak Sabila selama ini.
“Ah… teteh, selalu seperti itu”
jawab Indi.
Kak Sabil pun tersenyum, “Ini
pertanyaanku yang kedua kalinya ya mengenai keyakinanmu pada Khafi. Masih ingat
teteh bertanya seperti itu satu tahun yang lalu? Nah teteh sekarang ingin
mendengar jawabannya kembali.”
“Hm, iya teh aku ingat. Teteh
menasihatiku dan menanyakan hal itu ketika kami mempunyai masalah yang tidak
kecil. Ya aku akan menjadikan dia yang terakhir selama dia berubah, aku masih
memberi kesempatan dia untuk berubah.” Jawab Indi lirih.
“Jawabanmu masih sama seperti
dulu, itu menandakan bahwa kau belum yakin padanya. Kalimat ‘selama dia akan
berubah’, dari jarak setahun teteh bertanya kamu masih menjawab demikian? Coba
pikirkan lagi. Bukan apa-apa, teteh tidak ingin kamu membuang waktu, kalian itu
bertahan dengan hubungan kalian atau dipaksa bertahan oleh ego kalian? Hayati
lagi.” Tukas Kak Sabil.
Indi diam sejenak. “Aku bingung
menjawab pernyataan teteh barusan” jawabku.
“Kenapa bingung Indi? Ayolah
Indi, tidak baik sebuah hubungan dipaksakan. Bagaimana jika sebenarnya kamu itu
terpaksa bertahan? Bagaimana jika hubungan kalian itu menjadi penghalang
kesuksesan kalian? Bagaimana jika hubungan kalian itu menjadi penghalang jodoh
yang sebenarnya?”
Aku pun tertegun dengan kalimat
yang terakhir. Aku memandangi Kak Sabil. Dia seolah meyakinkanku akan ketidak
yakinanku pada Khafi. Sesaat aku langsung teringat pada kedua isi pesan yang
berbeda kemarin dari Khafi dan teman lamaku, Fahmi. Akhirnya aku pun tidak
menanggapi terlebih dahulu pernyataan Kak Sabil. Aku menceritakan kejadian
kemarin kepada kak Sabil, seketika kak Sabil memelukku sambil meneteskan
airmatanya. Terasa tenang hatiku mendapat pelukan darinya, terasa sangat kasih
sayang kak Sabil terhadapku, aku pun menangis.
Setelah itu aku pun memberitahu
Kak Sabil bahwa aku meceritakan kejadian itu pada Khafi juga dan seorang
temanku.
“Lantas bagaimana tanggapan
mereka?” kata Kak Sabil.
Aku hanya tersenyum ditengah
tangisanku dan memperlihatkan isi pesan dari mereka kepadanya.
Mata Kak Sabil pun berbinar
ketika membaca salah satu pesan yang ada di hp ku. Mungkin perasaan Kak Sabil
sama denganku ketika membacanya. Hanya saja perasaan bingung pasti tak hinggap
pada Kak Sabil.
“Setelah mendapat kedua balasan
pesan yang berbeda seperti itu dan nasihat dari teteh tadi, aku berpikir
kembali mengenai sosok yang sebenarnya ingin kusandingkan denganku kelak. Biarlah
tanpa ikatan apapun dahulu sebelum memang waktu yang halal. Sosok yang membuat
aku lebih dekat dengan-Nya, sosok yang membuatku senantiasa ingat kepada-Nya”,
ucapku pelan.
“Kamu mulai menyadari? Sekarang
apa yang akan kau lakukan? Dan ingat, sosok seperti itu takan kau dapatkan
memalui pacaran, Indi. Jika kamu dan Khafi memang jodoh tanpa harus pacaran
kalian akan bertemu nanti, setelah masing-masing dari kalian sukses dan siap
menikah. Jika bukan Khafi sekalipun, kau akan mendapatkan yang lebih baik. Kamu
bisa memikirkan kembali sosok yang kamu inginkan dan memantaskan diri untuk
yang kau kehendaki tersebut. Buktinya setelah mendapat sms dari kedua orang
yang berbeda isinya itu. Kau dapat memikirkannya dengan baik bukan?” jawab Kak
Sabil dengan tegas.
“Aku kembali tersenyum, hatiku
merasa jauh lebih lega kembali, pikiranku lebih segar, keyakinanku semakin matang. Aku lebih tahu kemana harus
melangkah, aku lebih tahu bagaimana harus ku jajaki kehidupanku, aku lebih tahu
apa yang harus aku lepas dan ku kejar. Aku sangat tahu kemana aku harus pulang.
Tidak ada kata terlambat untuk kembali, mungkin Dia telah menungguku sangat
lama. Aku tak ingin membuat-Nya menunggu lebih lama lagi, Dia kekasihku yang
sebenarnya, yang takkan menyakitiku, takkan
meninggalkanku, senantiasa menjagaku, senantiasa melindungiku, senantiasa
memberikanku nikmat yang luar biasa. Takkan ku lupakan lagi Dia, takan ku
tinggalkan lagi Dia walaupun hanya sejengkal.” Pikir Indi dengan yakin.
Indi pun mengakhiri ikatannya
dengan yang selama ini Indi sebut kekasih. “Tidak ada yang salah denganmu, Khafi, adalah kesalahan
ada pada diriku jika aku terus bersamamu. Karena aku menyadari kekeliruan ini,
maka aku harus mengakhiri kekeliruan itu. Semoga kau pun mengerti tentang
kekeliruan kita. Bukan ku putuskan silaturahmi denganmu, kita perkuat
silaturahmi kita melalui-Nya” harap Indi dalam hati.
Fahmi, teman lama Indi pun mengetahui
keberakhiran hubungan Indi dengan ‘kekasih’nya. Indi melihat Fahmi tampak
senang dengan kabar itu, jika dicermati pesan-pesan darinya. Fahmi semakin
sering menasihati Indi, Indi memang tersadar dengan nasihat-nasihatnya. Hal-hal
sederhana untuk mendekatkan Indi dengan-Nya sering ia ingatkan.
“Selama ini aku nyaris melupakan
hal-hal yang Fahmi nasihatkan padaku. Sangat bersyukur memiliki teman seperti
Fahmi. Andai dia tahu, bahwa keberakhiranku dengan Khafi ada keterlibatannya
dengan dia, bagaimana jadinya? *hhe kadang hal ini cukup menggelitik hati.
Pesan dari Fahmi waktu kejadian itu benar-benar membuatku takjud, hal sederhana
namun sedikit orang yang mengingatnya” ucap Indi pada dirinya sendiri.
Setelah ikatan ‘pacaran’ itu
tenggelam, setelah menahun ikatan itu terjalin, dengan keputusan berakhir yang
terlontar dari Indi karena-Nya, Khafi benar-benar menghilang. Tak sedikitpun
sapaan datang darinya.
“Ah, aku benar-benar kaget dengan
hal ini, namun tak membuatku menyesal, insyaa Allah keputusanku tepat. Dan
Fahmi semakin membuatku kagum dengan perangainya. Ah, aku takut terjatuh dengan
orang baik sepertinya, aku sangat menyayangkan jika ia terjatuh pada perasaan
yang sama. Aku pun memutuskan untuk mengurangi intensitasku berkomunikasi
dengannya” gumam Indi pada dirinya sendiri.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Beberapa waktu berlalu, Fahmi pun
tampak memberikan pesan mengenai perasaannya. Disisi lain Indi senang, namun
Indi tidak ingin Fahmi terjebak dalam perasaannya. Indi tidak akan memaafkan
dirinya sendiri jika Fahmi terjatuh karenanya, Fahmi yang telah membuatnya
bangkit jangan sampai terjatuh dan membuatnya jatuh kembali. Namun hati kecil
Indi seolah sangat menyambut hangat Fahmi.
Tapi tampaknya Fahmi bukanlah
orang yang mudah terjatuh, ia memegang prinsipnya dengan baik. Mana mungkin
juga dia memakan perkataannya sendiri. Memang dia tidak meminta Indi ‘pacaran’, hanya kalimat yang terucap darinya membuatnya
mampu menafsirkan perasaan dan maksud Fahmi. Namun kekhawatiran Indi tetap ada,
Indi khawatir bisikan-bisikan musuh nyata umat mengusiknya sekuat apapun
benteng yang ia dan Fahmi bangun.
Hubungan mereka memang masih
wajar seperti biasa, namun Indi takut ketika memang keduanya sudah mengetahui
ada harapan pada diri masing-masing, hal itu akan menyeret pada lembah yang tak
diridhai-Nya.
Fahmi mengerti kekhawatiran Indi,
kini dia pun mengurangi intensitas komunikasinya dengan Indi, sangat jarang keduanya
bertegur sapa. Namun Indi tidak khawatir dengan keadaan ini, Indi tidak ingin
merusak sosok Fahmi yang ia kagumi. Harapan Indi, “aku dan dia sama-sama
mengadu tentang harapan kita pada-Nya samapi ditautkan untuk bersama kelak.
Senantiasa berdoa dan memantaskan diri masing-masing sampai Dia meridhoinya”.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
“Am turiidu litaj’al nuurii?” begitulah pesan
yang pernah ia kirimkan pada Indi. Sederhananya Fahmi menuturkan, “apakah kau
berkenan jadi pasanganku?”. Pikir Indi, “Ah aku takut salah menafsirkan, tapi
aku sangat tak berani bertanya mengenai perasaannya padaku, ditengah perhatian
yang dia berikan. Aku memilih lebih baik tak tahu dan menjaga hatiku.”
Fahmi dan Indi pun menjalani
kehidupannya seperti biasa, sendiri-sendiri, hanya keyakinan dan ghirah
taat pada-Nya yang menguatkan keduanya. Saling memantaskan diri dilakukan
masing-masing, keduanya hanya menautkan harapan pada-Nya. Jika memang berjodoh
maka kebahagiaan akan dikecupnya, jika tak jodoh kebahagiaan pun tetap
dinikmatinya, berarti ada orang yang lebih tepat untuk keduanya. Wallahu a’lam.
Tautkanlah segala harapan hanya pada-Nya, tempuhlah dengan keridhaan-Nya.
--------------------------------------------------------
Inilah pesan yang membuat Indi
memilih menjaga perasaannya dan memantaskan diri untuk jodoh terbaiknya. Setelah
kejadian buruk yang menimpanya saat itu, beginilah tanggapan dari Khafi dan Fahmi:
Khafi: “Hah? Gila :( kok bisa narik tangan
kamu Indi? Yauda kamu minta ganti jadwal sama orangtuanya, besok biar Khafi
jemput ya pulangnya :(”
Fahmi: “Astaghfirullah, tapi kamu
tidak di apa-apakan lagi kan? Pokoknya mulai sekarang kamu jangan pulang malam.
Tidak baik perempuan keluar malam. Sekarang ambil air wudhu, lekas shalat,
tenangkan hatimu. Minta selalu perlindungan dari-Nya. Sudah jangan takut lagi
ya, banyak dzikir dan ingat pada-Nya.”
Mana yang akan lebih menenangkan
hati kalian ukhty?